Selasa, 17 Februari 2009
Oh...Ponari... ponari...!!
Siapakah sesungguhnya Ponari? Dukun cilik sakti atau hanya seorang anak kecil di pusaran absurditas zaman?
Saya ndak tahu. Kabar yang berseliweran menyebutkan bocah lelaki berusia 10 tahun dari Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang, itu memiliki sepotong batu yang dipercayai mampu menyembuhkan aneka macam penyakit.
Entah bagaimana caranya, kabar kedigdayaan batu itu cepat menyebar. Orang berbondong-bondong datang meminta pertolongan kepada Ponari dan batu ajaibnya itu.
Pasiennya membanjir dari delapan penjuru angin. Surya Online melaporkan, “Jika sebelumnya rata-rata pengunjung 5.000-9.000, kemarin diperkirakan mencapai sekitar 15.000 orang.”
Dalam waktu sekejap, tak sampai sebulan, Ponari menjelma jadi sebuah brand yang menasional — mungkin efek viral marketing tanpa disengaja. Ia bagaikan sebuah mantra ajaib bagi mereka yang memercayai. Obat bagi sembarang penyakit.
“Membludaknya pengunjung juga bisa dilihat dari banyaknya sepeda motor dan mobil yang diparkir di jalan-jalan desa. Massa dan kendaraan yang parkir memenuhi radius sekitar satu kilometer dari rumah keluarga Ponari” — Surya Online.
Dari mana batu ajaib itu diperoleh? Konon batu ajaib berbentuk kepala belut sebesar kepalan tangan tersebut didapat awal Januari lalu, ketika Ponari disambar kilat.
Tapi, Selasa dua hari yang lalu, Ponari jatuh sakit. Ia terserang demam setelah kecapekan mencelupkan batu yang dipegangnya dalam botol air sebagai media penyembuhan.
Anehnya, dia justru tak memanfaatkan batu ajaib itu untuk mengobati dirinya sendiri. Keluarga Ponari membawanya ke meja praktek dokter di rumah sakit. Paradoks, eh?
Popularitas Ponari juga menelan korban. Empat orang meninggal, bukan karena menenggak air yang sudah dicelup batu ajaib itu, melainkan akibat terinjak-injak pasien yang berdesak-desakan.
Polisi lalu menutup praktek pengobatan Ponari untuk sementara waktu. Orang tua Ponari setuju. Di depan Bupati Jombang, orangtua Ponari bahkan terus terang menyatakan ingin berhenti melayani pengobatan supaya sang anak bisa meneruskan sekolah lagi. Ponari masih duduk di bangku kelas tiga SD.
Meneruskan sekolah? Betapa mengharukan dan polos sekali jawaban itu. Kita layak menghargai keputusan itu.
Anak-anak, bagaimanapun ajaibnya mereka, toh berhak menikmati masa kecil mereka selayaknya, termasuk hak mendapatkan pendidikan.
Ponari mungkin mendatangkan manfaat buat banyak orang, juga tetangga dan seluruh isi kampungnya. Tapi, orang sering lupa, dia juga berhak mendapatkan kebutuhannya sendiri.
Di tengah kondisi pendidikan Indonesia yang tak terlalu berpihak pada anak-anak kurang mampu, Ponari harus terus kita dorong untuk terus menimba ilmu lebih tinggi lagi.
Kita tentu tak ingin nasib Ponari berakhir seperti kebanyakan anak Indonesia yang terpaksa berhenti sekolah lantaran tak punya biaya. Mereka berada di jalanan dan menjadi sasaran empuk jaringan perdagangan anak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar